Penangkapan Diponegoro, Raden Saleh, Sumber: Radensaleh.org)
Hari ini dalam rangka peringatan 103 Tahun Kebangkitan nasional, sebuah harian nasional terbesar menurunkan rubrik khusus berisi tulisan-tulisan seputar pemaknaan nasionalisme Indonesia setelah 103 tahun tepat pada 20 Mei 2011.
Tulisan ini mencoba merangkum dan memaknai upaya pemaknaan-kembali dalam beberapa tulisan tersebut. Empat artikel yang dirujuk di sini adalah Kebangsaan: Imajinasi Masa Lalu (selanjutnya disebut A), Globalisasi dan Lahirnya Kekerasan (B), Seabad Kebangkitan Nasional dan Kesejahteraan Rakyat (C), dan Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara (D).
Lebih dari itu, melalui tulisan ini saya juga bermaksud merevisi pandangan pribadi tentang nasionalisme, sebagaimana yang pernah saya tulis beberapa tahun lalu di media online lain. Dalam serial artikel tersebut, singkatnya, saya mengadopsi pandangan populer tentang nasionalisme (Anderson) dan menyimpulkannya secara tergesa-gesa sebagai sesuatu yang harus selalu diperjuangkan dari waktu ke waktu dari satu generasi ke berikutnya. Tidak ada yang keliru dengan ini; namun, saya merasa kesimpulan tersebut kurang lengkap.
Berbeda dari semangat saya waktu itu, dan mungkin juga dari pandangan monolitik yang tercermin dalam artikel-artikel para penulis yang disinggung di bawah, saya menyimpulkan bahwa konsep imajiner ini tidak melulu bermuatan positif (benevolent), melainkan juga bermuatan negatif (malevolent). Jadi, jika nasionalisme harus ditafsir ulang sepanjang masa, hal tersebut perlu dilakukan secara obyektif dengan mempertimbangkan kedua sifat bawaannya.
*
Bre Redana membuka rubrik tersebut lewat tulisannya yang cukup nikmat (A). Dengan mengutip konsep yang cukup dikenal tentang nasionalisme, dari Ernest Gellner dan dipopulerkan oleh Benedict Anderson, yaitu bahwa nasionalisme hanyalah komunitas yang dibayangkan, ia mengingatkan kita kembali akan kesemuan konsep ini.
“Nasionalisme bukanlah hal kebangkitan bangsa-bangsa pada suatu kesadaran diri, (tapi) ia menemukan (invent) bangsa-bangsa yang sebenarnya tidak eksis. Atau selanjutnya dalam tesis Anderson, sebuah bangsa, sebuah komunitas, sekecil apa pun, sebenarnya adalah soal “terbayangkan” (imagined) karena toh pada dasarnya kita tidak pernah kenal, bertemu, atau tahu-menahu sebagian besar anggota komunitas itu, terlebih kalau diluaskan sebagai bangsa.
Ia mengawali tulisannya dengan dua gagasan yang sepertinya berkontras:
Apakah sebuah gagasan-katakanlah gagasan mengenai nasionalisme-bisa berfungsi seperti sebuah ayat, yang dengan itu lalu terjadi semacam proses nubuatan, sebuah bangsa kemudian bangkit, mengepalkan tangan, satu padu bulat tekad menuju merdeka? Banyak hal membuktikan, kesadaran bangkit disebabkan hal-hal kecil, dari perubahan-perubahan yang sering tak teramati karena sifat kesehariannya, yang betapapun di baliknya sebenarnya tersimpan gerak modernisasi. [Cetak tebal dari saya]
Ulasan ini dilandasi pada kebenaran a priori dari aksioma tindakan–bahwa manusia adalah makhluk yang bertindak. Setiap tindakan yang dilakukan manusia normal pastilah rasional, dalam pengertian bahwa tindakan tersebut sengaja dilakukan untuk tujuan yang ingin dicapainya. Jika kadang manusia disebut irrasional dalam pengertian sehari-hari, misalnya saat mabuk kepayang atau ketika tidak berpikir panjang, itu dikarenakan manusia juga rentan membuat kesalahan dalam penilaian; demikian pula bagi seorang A yang mencoba menilai tindakan B yang dikatakannya irrasional. A mungkin salah menilai entah tujuan, cara ataupun kedua hal yang ingin B capai.
Dengan pengertian tentang tindakan seperti di atas, maka setiap tindakan mestilah berawal dari gagasan. Hal-hal sekecil apapun, yang membangkitkan kesadaran, adalah juga timbul dari gagasan. Jadi, tidak ada kontras dalam apa yang dicoba dipertentangkan oleh Bre di sini. Justru pertanyaan penting yang tidak tertanyakan adalah: siapa pemilik gagasan tersebut?
Dalam konteks di atas, sepertinya Bre ingin mengatakan bahwa “nasionalisme” kita di masa lalu muncul oleh sebab daya sederhana yang seringkali tidak teramati karena sifat kesehariannya. Rasa tersebut muncul di mayoritas kehendak penduduk. Selebihnya, perkembangannya berlangsung secara tak terduga-tanpa skenario atau rancangan yang dapat dipastikan.
Sebagaimana dilanjutkan Bre, harus ada proses imajiner yang mampu membentuk affinity sekaligus perasaan percaya-trust dalam istilah Fukuyama-bahwa kita terikat menyongsong masa depan bersama”. Lalu Bre mengontraskannya:
“[Tapi] nyatanya, proses itu sekarang disabot para penguasa, dirongrong dari para pengutil sampai para tikus garong yang meng-korup kekayaan bangsa secara besar-besaran. Sebagian besar dari kami telah kalian miskinkan….”
Tidak jelas, siapa yang dikaliankannya di sini. Sepertinya ia ingin mengatakan apa yang secara teori dinyatakan tentang nasionalisme, ternyata berbeda dengan kenyataan. Bre kemudian menutup paparannya dengan mengatakan bahwa kebangsaan, “…sebagai sebagai suatu konsep imajiner, juga menjadi imajinasi: imajinasi masa lalu.” Saya tidak dapat memastikan makna kalimat terakhirnya; namun, jika Bre mengatakan bahwa romantisme atas nasionalisme kita di masa lalu adalah bagian dari sejarah yang boleh dikenang namun kita perlu menatap masa depan untuk melakukan hal-hal remeh apapun, atau perubahan-perubahan sekecil apapun yang dapat dilakukan dan yang menyimpan gerak modernisasi, maka dengannya saya sepandangan.
*
Dalam B, Myrna Ratna, mengungkap sejumlah alasan kegagalan dari momentum kebangkitan nasional setelah 1928, yaitu oleh sebab eksklusivisme dan semangat kedaerahan, rivalitas kelompok, ideologi dan bahkan agama.
Dari pandangan politis terhadap nasionalisme ini, ia memasuki ranah ekonomi dan melompat ke kesimpulannya terhadap perekonomian dunia. Liberalisasi ekonomi yang berjalan tanpa penguatan terlebih dulu “jaring pengaman” di negara-negara miskin dan berkembang, menurutnya, telah mendorong kehancuran ekonomi dunia yang diwarnai dengan melonjaknya tingkat kemiskinan, pengangguran, dan krisis pangan.
(Saya cukup dapat memahami latar belakang artikulasi semacam ini, tetapi mungkin patut kita pertanyakan apakah tepat membandingkan kehidupan kita, terutama kehidupan berbangsa, dengan semacam perlombaan balap-karung tujuhbelasan, di mana para pesertanya harus memulai di garis start yang sama?)
Myrna juga mengontraskan nasionalisme dengan regionalisme. Baginya, nasionalisme sepertinya menjadi modal sosial yang penting, benevolent, dan harus ada-persis seperti yang saya yakini sebelum ini; jadi penting juga baginya mengungkapkan kontras mengapa nasionalisme harus berkonflik dan dilemahkan oleh regionalisme atau kolektivisme yang lain.
Ketika memberi satu gambaran contoh eksternal politik dari belahan dunia lain: hegemoni AS dewasa ini, pada dasarnya ia mengungkap fenomena yang sama, kecuali dalam skala yang lebih besar. Satu masukan tersirat yang dapat ditarik dari tulisan ini adalah bahwa ternyata bangsa-bangsa lain pun, terlepas dari seberapa besar pencapaiannya, ternyata tetap menghadapi berbagai masalah dalam mewujudkan nasionalisme masing-masing.
Pandangan Siswono Yudo Husodo dalam C langsung menyimpulkan,
“Secara umum negara ini sudah salah urus, negara menjadi makin miskin karena utang luar negeri yang bertambah besar. Kita memerlukan manajer yang baik tak hanya di pemerintah pusat, tetapi juga di daerah-daerah.”
Lagi, pandangannya ini menatapi bangunan nasionalisme yang memang tidak akan selesai, yang dikelola secara salah.
Dan James Luhulima, dalam D, bahkan menegaskan kondisi nasionalisme saat ini sebagai justifikasi tambahan bagi pemerintahan!
“Pemerintah harus berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan itu, dan bukan malah membuatnya menjadi semakin parah.”
Bagi James, yang diperlukan dari pemerintah adalah “memimpin di depan untuk sesegera mungkin menyelesaikan keadaan sebelum menjadi tidak terkendali.”
Apa yang terlewatkan dalam pemandangan umum terhadap konsep nasionalisme di atas?
Kiranya terdapat garis merah yang merajut pandangan semua penulis di atas (termasuk pandangan saya beberapa tahun waktu silam), yaitu sama-sama memandang nasionalisme sebagai sesuatu faktor politik dan faktor ekonomi yang benevolent saja, sebagai semacam modal sosial yang positif belaka.
Pandangan-pandangan di atas cenderung melupakan, jika tidak mengingkari, fakta bahwa nasionalisme, regionalisme ataupun kelompokisme adalah cuma soal skala, yang tidak memiliki perbedaan mendasar dalam arti bahwa mereka selalu rentan terhadap politisasi; benih pemicu peperangan antargolongan-antarbangsa, ketimbang sebagai modal sosial pembangun bangsa.
Dilihat dari sudut pandang ini, nasionalisme adalah faktor yang berbahaya. Inheren di dalam dirinya adalah ekslusivisme itu sendiri, yang dapat menjadi liabilitas sosial. Kiranya hal ini akan lebih jelas manakala kita melihatnya dari sudut pandang ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar