KONFLIK DALAM ORGANISASI DAN
KAITANNYA
DENGAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Too much or too little conflict can
inhibit creativity.
Poorly managed conflict can do the
same.
But when conflict is well managed,
problems can be resolved effectively,
and the solutions are more likely to
be fresh and innovative.
(Stoner dan Freeman, 1989:391).
I. PENDAHULUAN
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari
komponen-komponen
(subsistem) yang saling berkaitan atau saling
tergantung
(interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk
mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh,
1974). Sub-subsistem
yang saling tergantung itu adalah tujuan dan
nilai-nilai (goals and
values
subsystem), teknikal (technical
subsystem), manajerial (managerial
subsystem), psikososial (psychosocial
subsystem), dan subsistem struktur
(structural
subsystem). Dalam proses interaksi antara suatu subsistem
dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan
selalu terjadi
kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya.
Setiap saat
ketegangan dapat saja muncul, baik antarindividu
maupun antarkelompok
dalam organisasi. Banyak faktor yang
melatarbelakangi munculnya
ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain:
sifat-sifat pribadi yang
berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang
“buruk”, perbedaan
nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah
yang akhirnya
membawa organisasi ke dalam suasana konflik.
Agar organisasi dapat tampil efektif, maka
individu dan kelompok
yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan
kerja yang saling
1 -
Dosen tetap pada Fakultas Ilmu Administrasi dan Program S2 Ilmu Administrasi
Program Pascasarjana Univ.Brawijaya Malang.
- Mahasiswa Program Doktor pada Program
Pascasarjana Universitas
Padjadjaran Bandung.
2
mendukung satu sama lain, menuju pencapaian
tujuan organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain
dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling
tergantung dapat pula
melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing-masing komponen organisasi
memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri
dan tidak saling
bekerjasama satu sama lain.
Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam
setiap organisasi,
tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat
kompleksitas organisasi tersebut.
Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kamatian”
bagi organisasi,
tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi
yang bersangkutan, jika
konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa
penyelesaian. Karena itu
keahlian untuk mengelola konflik sangat
diperlukan bagi setiap pimpinan
atau manajer organisasi.
Makalah ini mencoba untuk menyajikan tiga hal
penting dalam
konteks konflik dalam organisasi, yaitu: faktor
penyebab timbulnya konflik,
keterkaitan konflik dengan kualitas pelayanan,
dan model-model
pengelolaan konflik. Keseluruhan pembahasan
dilakukan secara teoretis
dengan menggunakan beberapa referensi yang
tersedia. Namun, sebelum
ketiga hal tersebut diuraikan, dan untuk
menyatukan sudut pandang kita,
dalam bagian ini akan disajikan definisi konflik,
pandangan terhadap
konflik, dan jenis-jenis konflik.
1.1 Definisi Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan
oleh ahli manajemen.
Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang
digunakan dan persepsi para
ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi.
Namun, di antara maknamakna
yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan,
bahwa konflik
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau
perbedaan dalam hal
nilai, tujuan, status, dan budaya. Definisi di
bawah ini menunjukkan
perbedaan-perbedaan dimaksud.
3
… the condition of objective incompatibility
between values or goals, as
the bahavior of deliberately interfering with
another’s goal achievement,
and emotional in terms of hostility (Luthans, 1985:386).
A process in which an effort is purposely made by
A to offset the efforts of
B by some form of blocking that will result in
frustrating B in attaining his
or her goals or furthering his or her interests (Robbins, 1996:428).
… disagreement between individuals or groups
within the organization
stemming from the need to share scarce resources
or engage in
interdependent work activities, or from
differences in status, goals, or
cultures (Stoner dan Freeman, 1989:391).2
All kinds of opposition or antagonistic
interaction. It based on scarcity of
power, resources or social position, and
differing value systems (Kreitner
dan Kinicki, 1995:283).
Terlepas dari faktor-faktor yang
melatarbelakanginya, konflik
merupakan suatu gejala dimana individu atau
kelompok menunjukkan
sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap
individu atau kelompok lain,
sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu
atau semua pihak yang
terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut
Robbin (1996),
ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok.
Jika mereka tidak
menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam
organisasi, maka secara
umum konflik tersebut dianggap tidak ada.
Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah
terjadi konflik, maka
konflik tersebut menjadi suatu kenyataan.
1.2 Pandangan Terhadap Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran
konflik dalam
kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat
bahwa konflik harus
dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan
maka akan merugikan
organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain
menyatakan bahwa jika
konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik
tersebut akan membawa
2 Stoner dan
Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik organisasional
(organizational
conflict).
4
keuntungan bagi kelompok dan organisasi.
Pertentangan pendapat ini
oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the Conflict Paradox, yaitu
pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap
dapat meningkatkan
kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan
kelompok dan organisasi
berusaha untuk meminimalisir konflik.
Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa
pandangan tentang
konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Robbins (1996:429).3
Pandangan Tradisional (The
Traditional View). Pandangan
ini
menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik
dilihat sebagai
sesuatu yang negatif, merugikan dan harus
dihindari. Untuk memperkuat
konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan
istilah violence,
destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap
yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam
dasawarsa 1930-an
dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil
disfungsional akibat
komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan
keterbukaan di
antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk
tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan.
Pandangan Hubungan Manusia (The
Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan
peristiwa yang wajar
terjadi dalam semua kelompok dan organisasi.
Konflik merupakan sesuatu
yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan
konflik harus diterima
dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga
bermanfaat bagi
peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini
mendominasi teori konflik
dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan
1970-an.
Pandangan Interaksionis (The
Interactionist View). Pandangan
ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas
dasar suatu asumsi
bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan
serasi, cenderung
menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan
tidak inovatif. Oleh karena itu,
menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu
dipertahankan pada tingkat
3 Pembahasan
tentang hal ini dapat pula dibaca dalam James A.F. Stoner dan
R. Edward Freeman, Management.
Prentice-Hall, New York, 1989, p.392.
5
minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok
tetap bersemangat
(viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan
tentang
konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan
tradisional (old view) dan
pandangan modern (current view). Perbedaan
kedua pandangan tersebut
disajikan dalam Tabel 1.1. Dalam tabel tersebut,
kedua cara pandang:
tradisional dan modern, dibedakan dalam lima
aspek, yaitu: cara pandang
terhadap konflik, faktor penyebab timbulnya
konflik, pengaruh konflik
terhadap kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana
perlakuan terhadap
konflik untuk mencapai kinerja optimal.
Tabel 1: Pandangan Tradisional dan Modern tentang
Konflik
PANDANGAN TRADISIONAL PANDANGAN MODERN
Konflik dapat dihindari Konflik tidak dapat
dihindari
Konflik disebabkan oleh kesalahan
manajemen dalam merancang dan
memimpin organisasi
Konflik disebabkan oleh banyak faktor:
struktur organisasi, perbedaan tujuan,
persepsi, nilai-nilai, dsb.
Konflik mengacaukan organisasi dan
mencegah pencapaian tujuan yang
optimal
Konflik mengurangi kinerja organisasi
dalam pelbagai tingkatan
Manajemen bertugas mengeliminir
konflik
Manajemen bertugas mengelola dan
mengatasi konflik, sehingga tercapai
kinerja yang optimal
Untuk mencapai kinerja yang optimal
maka konflik harus dihilangkan
Untuk mencapai kinerja yang optimal
membutuhkan tingkat konflik yang
moderat
1.3 Jenis-jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung
pada dasar
yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada
yang membagi konflik
atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar
pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik, dan sebagainya.
6
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi
konflik
menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan
konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah
konflik yang mendukung pencapaian tujuan
kelompok, dan memperbaiki
kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional
adalah konflik yang
merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah
suatu konflik
fungsional atau disfungsional sering tidak tegas
(kabur). Suatu konflik
mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi
tidak fungsional bagi
kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat
fungsional pada waktu
tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang
lain. Kriteria yang
membedakan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional adalah
dampak konflik tersebut terhadap kinerja
kelompok, bukan pada kinerja
individu. Jika konflik tersebut dapat
meningkatkan kinerja kelompok,
walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka
konflik tersebut
dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika
konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan
kinerja kelompok maka
konflik tersebut disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat
di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam
konflik, Stoner dan
Freeman (1989:393) mebagi konflik menjadi enam
macam, yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini
terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang
saling bertentangan,
atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang
satu dengan individu yang lain.
7
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and
groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan normanorma
kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang
sama (conflict among
groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masingmasing
kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan
masing-masing
berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini
terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh
organisasi menimbulkan
dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya,
dalam perebutan
sumberdaya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang
berbeda (conflict among
individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat
sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi
yang berdampak
negatif bagi anggota organisasi yang lain.
Misalnya, seorang manajer
public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang
dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang
dalam Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat
macam, dilihat
dari posisi seseorang dalam struktur organisasi.
Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi
antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam
organisasi. Misalnya,
antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang
terjandi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam
organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar
departemen yang
setingkat.
8
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi
antara karyawan lini yang
biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat
staf yang
biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam
organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi
karena seseorang mengemban
lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga
klasifikasi lain,
misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang
membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive
conflict, dan destructive
conflict.
II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada
kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik,
terdiri dari tiga ketegori,
yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel
pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak
yang terlibat, dapat
menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian
menunjukkan bahwa
kesulitan semantik, pertukaran informasi yang
tidak cukup, dan gangguan
dalam saluran komunikasi merupakan penghalang
terhadap komunikasi
dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya
konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian
yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat
spesialisasi yang diberikan
kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi
(wilayah kerja), kecocokan
antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok,
gaya kepemimpinan,
sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara
kelompok. Penelitian
menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat
spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin
besar kelompok, dan
9
makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin
besar pula kemungkinan
terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah
faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang
dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan
individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain.
Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,
misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah
orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial.
Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi
dalam kelompok, dan
para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka
muncullah persepsi
bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan
ini disebut dengan
konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu
terlibat secara emosional, dan mereka merasa
cemas, tegang, frustrasi,
atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik
berubah menjadi konflik
yang dirasakan (felt conflict).
Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan
dirasakan keberadaannya
itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika
pihak-pihak yang
terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku.
Misalnya, serangan secara
verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan
fisik, huru-hara,
pemogokan, dan sebagainya.
Robbins (1996), menggambarkan tahap-tahap
lahirnya konflik,
sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui
gambar sebagaimana
yang disajikan di bawah ini.
Gambar 1: Proses Lahirnya Konflik
Stage I Stage II Stage III Stage IV
Potential Opposition Cognition and Behavior
Outcomes
Personalization
Increased
Perceived group
10
Conflict performance
Antecedent Conditions
- Communication Overt
- Structure conflict
- Personal variables
Felt Decreased
conflict group
performance
Conflict-handling
Behaviors
- Competition
- Collaboration
- Compromise
- Avoidance
- Accommodation
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang
digambarkan oleh
Robbins, mirip dengan tahap-tahap konflik yang
digambarkan oleh
Schermerhorn, et al. (1982:461),
seperti yang disajikan di bawah ini.
Gambar 2: Tahap-tahap Konflik
Antecedent conditions
Preceived Felt
conflict conflict
Manifest
conflict
11
Conflict resolution
or suppression
Conflict
aftermath
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga
factor dalam
antecedent conditions, Schermerhorn, et al. merinci antecedent conditions
menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan
peranan atau peranan yang
mendua (role ambiguities); (2)
persaingan untuk mendapatkan sumberdaya
yang terbatas; (3) rintangan-rintangan dalam
komunikasi
(communication
barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak
terselesaikan;
dan (5) perbedaan-perbedaan individual, yang
mencakup: perbedaan
kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285)
merinci lagi
antecedent conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut:
1) ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
2) batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau
tumpang-tindih;
3) persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang
terbatas;
4) pertukaran informasi atau komunikasi yang
tidak cukup (inadequate
communication);
5) kesalingtergantungan dalam pekerjaan
(misalnya, seseorang tidak
dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan
orang lain);
6) kompleksitas organisasi (konflik cenderung
meningkat bersamaan
dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan
spesialisasi
pekerjaan);
7) peraturan-peratuan, standar kerja, atau
kebijakan yang tidak jelas atau
tidak masuk akal;
8) batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak
masuk akal sehingga
sulit dipenuhi (unreasonable deadlines);
12
9) pengambilan keputusan secara kolektif (semakin
banyak orang yang
terlibat dalam proses pengambilan keputusan,
semakin potensial untuk
konflik);
10) pengambilan keputusan melalui konsensus;
11) harapan-harapan yang tidak terpenuhi
(karyawan yang memiliki
harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan,
upah, atau promosi,
akan lebih mudah untuk konflik);
12) tidak menyelesaikan atau menyembunyikan
konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau
pimpinan
organisasi harus proaktif untuk
mengidentifikasikan keberadaan kondisikondisi
tersebut dalam organisasinya, dan jika salah satu
atau lebih dari
kondisi itu muncul, maka ia harus segera
mengambil tindakan, sebelum
kondisi itu menjadi konflik terbuka atau konflik
yang nyata (manifest
conflict). Dengan cara seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke
seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi
kinerja karyawan. Untuk
itulah maka manajer harus memiliki kemampuan
untuk mengelola konflik,
sehingga konflik tidak menjadi faktor yang
mengancam keberlangsungan
hidup organisasi, tetapi menjadi faktor yang
fungsional untuk
meningkatkan kinerja organisasi.
IV. KONFLIK
DAN KAITANNYA DENGAN
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Manajemen pelayanan publik dalam organisasi
publik (pemerintah)
umumnya memberikan layanan berupa jasa yang
memiliki karakteristik:
tidak nyata (intangible), tidak
terpisahkan (inseparable), tidak dapat
disimpan (perishable), dan
bervariasi (variable). Ciri-ciri seperti ini sering
menyulitkan manajemen (umumnya para birokrat)
untuk menentukan
indikator kualitas pelayanan yang diberikan. Artinya,
apakah pelayanan
kepada publik yang diberikan selama ini telah
memuaskan mereka atau
tidak. Hal ini berbeda dengan pelayanan pada
organisasi bisnis yang
13
mentransaksikan barang yang secara fisik nampak,
dan konsumen dapat
secara langsung menyatakan kesukaan atau
ketidaksukaannya. Karena
itu dalam organisasi publik, kualitas layanan
amat ditentukan oleh interaksi
antara pemberi layanan (aparatur pemerintah) dan
pengguna layanan
(masyarakat). Aparatur memiliki tingkatan kinerja
tertentu dalam
memberikan layanan, sedangkan masyarakat memiliki
ekspektasi tentang
kualitas layanan yang diinginkan. Kualitas
layanan, dengan demikian,
didefinisikan sebagai hasil persepsi dari
perbandingan antara harapan
pelanggan (penerima layanan) dengan kinerja
aktual pemberi layanan.
Dari pengertian ini terdapat dua unsur utama
dalam kualitas layanan, yaitu
expected service (layanan yang diinginkan) dan perceived service
(layanan yang dirasakan). Apabila layanan yang
diterima atau dirasakan
sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas
layanan yang
dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika layanan
yang diterima
melampaui harapan pelanggan maka kualitas layanan
dipersepsikan
sebagai kualitas ideal. Sebaliknya, jika kualitas
layanan yang diterima
lebih rendah, maka akan dipersepsikan buruk atau
tidak memuaskan
(Gronroos, et al., 1997).
Setiap pimpinan suatu institusi publik
menghendaki agar tercapai
suatu pelayanan jasa yang unggul (service excellence), yaitu sikap atau
cara karyawan dalam melayani masyarakat pelanggan
secara
memuaskan. Menurut Kotler (1997), terdapat lima
faktor determinan yang
menentukan kualitas layanan yang diberikan,
yaitu:
a) kehandalan, kemampuan untuk memberikan jasa
yang dijanjikan tepat
pada waktunya;
b) responsif, kemauan untuk membantu pelanggan
dan memberikan jasa
dengan cepat;
c) keyakinan, kemampuan untuk menimbulkan
kepercayaan pada diri
pelanggan melalui perilaku ramah dan sopan;
d) empati, kepedulian atau kemampuan untuk
memberikan perhatian
pribadi pada pelanggan;
14
e) berwujud, mengacu pada fasilitas fisik, yaitu
kemampuan dalam
menyedian peralatan, personil, dan media
komunikasi yang dibutuhkan
pelanggan.
Dalam menganalisis keterkaitan antara konflik
dalam organisasi
dan kualitas pelayanan publik kita menganggap
bahwa service excellence
atau kualitas pelayanan publik yang unggul
merupakan suatu tingkatan
kinerja yang “tinggi” yang diharapkan dicapai
dalam interaksi antara
aparatur dengan publik. Hal ini dapat dicapai
jika sejumlah faktor
determinan yang telah disebut di atas dapat
dipenuhi dalam proses
interaksi itu.
Untuk keperluan analisis, maka dalam model yang
membahas
keterkaitan antara konflik dan kinerja (performance) suatu unit kerja atau
suatu instansi, penulis akan mensubtitusikan
kinerja dengan kualitas
layanan. Model yang akan dibahas bersumber dari
Robbins (1996). Ia
menggambarkan hubungan antara konflik dengan
kinerja dalam suatu
kurva normal yang memperlihatkan adanya tiga
situasi yang disimbulkan
dengan A, B, dan C. Sumbu vertikal dari kurva
adalah kinerja, dan sumbu
horizontalnya adalah tingkat konflik. Situasi A
menunjukkan tingkat konflik
yang rendah atau tidak ada konflik, situasi B
menggambarkan konflik
berada pada kondisi optimal, dan situasi C
memperlihatkan tingkatan
konflik yang tinggi. Ketiga situasi ini dapat
dilihat dalam gambar di bawah
ini.
Gambar 3: Keterkaitan Konflik dengan Kinerja
(Kualitas Pelayanan)
tinggi
kinerja
rendah
15
Tingkat Konflik tinggi
Situasi Tingkat
Konflik
Tipe
Konflik
Karakteristik
Internal
Organisasi
Kualitas
Layanan
A
Rendah/ Tidak
ada konflik
Disfungsional
- Apatis
- Stagnan
- Tdk responsif
thd. perubahan
- Kekurangan ideide
baru
Rendah
B
Optimal
Fungsional
- Hidup (Viable)
- Kritis-diri
(Self-critical)
- Inovatif
Tinggi
C
Tinggi
Disfungsional
- Mengganggu
(Disruptive)
- Kacau balau
(Chaotic)
- Tdk koperatif
Rendah
Jika dalam organisasi tingkat konfliknya rendah
atau tidak ada
konflik sama sekali (situasi A) maka tipe
konfliknya adalah disfungsional,
dan hal ini ditandai oleh karakteristik
organisasi tersebut yang apatis,
macet (stagnant), tidak responsif
terhadap perubahan, dan kekurangan
ide-ide baru. Situasi ini mengakibatkan kualitas
pelayanan publik menjadi
rendah. Hal ini sama akibatnya dengan jika
terjadi konflik yang tinggi
dalam organisasi, seperti pada situasi C.
Keadaan yang diharapkan adalah sebagaimana dalam
situasi B,
dimana tercapai suatu konflik optimal yang
fungsional, yang ditandai oleh
ciri-ciri organisasional yang viable, self-critical, dan innovative. Situasi ini
menjadikan organisasi mencapai kualitas pelayanan
publik yang tinggi.
Dengan demikian kunci dari model Robbins adalah
bagaimana
mengusahakan agar konflik berada pada situasi
optimal, sehingga konflik
tersebut dapat mencegah kemacetan, merangsang
kreativitas,
memungkinkan lepasnya ketegangan, dan
memprakarsai benih-benih
untuk perubahan. Selanjutnya Robbins menjelaskan
bahwa konflik itu baik
bagi organisasi jika: (1) konflik merupakan suatu
alat untuk menimbulkan
16
perubahan; (2) konflik mempermudah terjadinya
keterpaduan
(cohesiveness) kelompok; (3) konflik dapat memperbaiki
keefektifan
kelompok dan organisasi; dan (4) konflik
menimbulkan tingkat ketegangan
yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstruktif.
Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu
rendah) atau terlalu
berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi
keefektifan organisasi untuk
mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi.
Kedua situasi ektrim ini
dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang apatis,
absenteisme tinggi,
bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna
jasa, dan
sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah
kualitas pelayanan
mereka kepada publik. Untuk itulah diperlukan
suatu keahlian untuk
mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi
publik. Penggunaan
berbagai teknik pemecahan dan motivasi untuk
mencapai tingkat konflik
yang diinginkan disebut sebagai manajemen
konflik.
IV. MENGELOLA
KONFLIK DALAM ORGANISASI
Para manajer menghabiskan banyak waktu dan energi
untuk
menangani konflik. Upaya penanganan konflik
sangat penting dilakukan,
karena setiap jenis perubahan dalam suatu
organisasi cenderung
mendatangkan konflik. Sebagaimana saat ini, dalam
rangka otonomi
daerah, banyak sekali perubahan institusional
yang terjadi, yang tidak saja
berdampak pada perubahan struktur dan personalia,
tetapi juga
berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan
organisasional yang
berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu,
jika konflik tidak ditangani
secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu
keseimbangan
sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara
orang-orang yang
terlibat. Menurut Gibson, et al. (1997), kegagalan dalam menangani konflik
dapat mengarah pada akibat yang mencelakakan.
Konflik dapat
menghancurkan organisasi melalui penciptaan
dinding pemisah di antara
17
rekan sekerja, menghasilkan kinerja yang buruk,
dan bahkan
pengunduran diri.
Para manajer organisasi publik harus menyadari
bahwa karena
konflik disebabkan oleh faktor-faktor yang
berlainan, maka model yang
digunakan dalam pengelolaan konflik juga
berlainan, tergantung keadaan.
Memilih sebuah model pemecahan konflik yang cocok
tergantung pada
beberapa faktor, termasuk alasan mengapa konflik
terjadi, dan hubungan
khusus antara pimpinan dengan pihak yang terlibat
konflik. Menurut
Greenhalgh (1999), efektivitas pimpinan
organisasi dalam menangani
konflik tergantung pada seberapa baik mereka memahami
dinamika dasar
dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali
hal-hal penting yang
terdapat dalam konflik tersebut.
Bagian keempat tulisan ini disajikan beberapa
model teoretis dalam
mengelola konflik yang dikemukakan oleh para ahli
manajemen dan
perilaku organisasi.
4.1 Model
Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum
dari Leonard Greenhalgh
Menurut Greenhalgh (1999:391), konflik bukanlah
suatu fenomena
yang obyektif dan nyata, tetapi ia ada dalam
benak orang-orang yang
terlibat dalam konflik tersebut. Karena itu untuk
menangani konflik,
seseorang perlu bersikap empati, yaitu memahami
keadaan sebagaimana
yang dilihat oleh para pelaku penting yang
terlibat konflik. Unsur yang
penting dalam manajemen konflik adalah persuasi,
dan inilah bentuk
penyelesaian konflik yang selalu ditekankan oleh
Greenhalgh dalam
model kontinumnya.
Tabel 2: Model Diagnosis Konflik Pandangan
Kontinum
Dimensi Sulit Dipecahkan Mudah Dipecahkan
Masalah yang menjadi
pertanyaan
Masalah prinsip Masalah yang dapat
dibagi-bagi
Ukuran taruhan Besar Kecil
18
Saling ketergantungan
antara pihak-pihak yang
terlibat
Berjumlah nol Berjumlah positif
Kontinuitas interaksi Transaksi tunggal Hubungan
jangka
panjang
Struktur pihak-pihak
yang terlibat
Tak berbentuk atau
terpecah-pecah, dengan
kepemimpinan yg lemah
Terpadu, dengan
kepemimpinan yg kuat
Keterlibatan pihak
ketiga
Tidak ada pihak ketiga
Yang netral
Dipercaya, kuat,
dihormati dan netral
Kemajuan konflik yang
Dipandang
Tidak seimbang, satu
pihak merasa lebih
dirugikan
Pihak-pihak telah saling
merugikan satu sama
lain
Masalah-masalah yang dipertanyakan. Jika masalah yang
menjadi sumber konflik adalah masalah prinsip,
maka konflik sulit
dipecahkan, karena mengrobankan prinsip dipandang
sebagai mengorbankan
integritas pribadi. Begitu masalah-masalah
prinsip dikaitkan,
pihak-pihak yang terlibat mencoba berargumentasi
bahwa sudut pandang
pihak lain salah. Jika hal sepeti ini terjadi,
maka bentuk intervensi yang
dapat dilakukan adalah meminta semua pihak untuk
mengakui bahwa
mereka memahami pandangan satu sama lain,
walaupun masih percaya
dengan pandangannya sendiri. Cara seperti ini
lebih memungkinkan
semua pihak untuk meju dalam proses negosiasi,
daripada tetap pada
posisi masing-masing.
Ukuran taruhan. Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam
perdebatan, semakin sulit konflik dipecahkan.
Misalnya, kebijakan akuisisi
yang oleh manajer dianggap membahayakan
kedudukannya. Manajer
yang berpikir subyektif akan memandang taruhannya
cukup tinggi, karena
itu akan berusaha mati-matian menentang proses
akuisisi tersebut. Dalam
kasus ini pendekatan persuasif dengan cara
menunda penyelesaian,
hingga semua pihak menjadi kurang emosianal,
sangat baik untuk
dilakukan. Selama masa penundaan tersebut
masing-masing pihak dapat
mengevaluasi kembali masalah yang dipertaruhkan
dan berusaha untuk
mencoba bersikap obyektif dalam penilaian mereka.
19
Saling ketergantungan pihak-pihak yang
terlibat. Pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu konflik dapat memandang
diri mereka sendiri
dalam suatu rangkaian saling ketergantungan “berjumlah
nol” hingga
“berjumlah positif”. Saling ketergantungan
berjumlah nol adalah persepsi
bahwa jika suatu pihak memperoleh sesuatu dari
proses interaksi, maka
hal tersebut berarti pengorbanan bagi pihak lain.
Saling ketergantungan
bernilai positif, jika kedua belah pihak
sama-sama merasakan memperoleh
keuntungan dari proses interaksi. Suatu hubungan
berjumlah nol
membuat konflik sulit dipecahkan karena hubungan
ini memusatkan
perhatian secara sempit pada perolehan pribadi,
dan bukan pada
perolehan kedua belah pihak melalui kerjasama dan
pemecahan masalah.
Jika hal yang demikian ini terjadi, maka kedua
belah pihak harus dibujuk
untuk mempertimbangkan bagaimana mereka dapat
saling memperoleh
manfaat dari suatu situasi.
Kontinuitas interaksi. Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan
dengan horizon waktu dimana semua pihak melihat
diri mereka sendiri
berhubungan satu sama lain. Jika mereka
memvisualisasikan interaksi
yang terjadi sebagai interaksi jangka panjang
atau suatu hubungan yang
terus menerus, maka konflik yang terjadi akan
lebih mudah diselesaikan.
Sebaliknya jika transaksi dipandang sebagai
hubungan jangka pendek
atau hubungan episodic, maka konflik tersebut
akan sulit dipecahkan.
Karena itu, pihak-pihak yang terlibat harus
dibujuk agar mau menyadari
bahwa hubungan mereka tidak berhenti di sini
saja, atau pada saat konflik
terjadi, tetapi akan ada hubungan lain yang terus
menerus di masa yang
akan dating.
Struktur pihak-pihak yang terlibat. Konflik lebih mudah
dipecahkan jika suatu pihak mempunyai seorang
pemimpin yang kuat
yang dapat menyatukan pengikutnya untuk menerima
dan melaksanakan
kesepakatan. Jika kepemimpinannya lemah, maka
sub-sub kelompok
serikat pekerja yang paling merasa berkewajiban
untuk mematuhi semua
20
kesepakatan akan melakukan protes tanpa
memperhatikan apa yang telah
disepakati oleh pemimpin mereka, dan karena itu
konflik sulit dipecahkan.
Serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang
kuat mungkin
menyulitkan dalam perundingan, tetapi begitu
kesepakatan dicapai maka
hasil perundingan tersebut dihormati oleh anggota
serikat pekerja. Jika
serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang
lemah terlibat dalam
konflik, maka hasil yang telah disepakati mungkin
akan dirusak oleh
orang-orang dari dalam serikat pekerja tersebut,
yang mungkin tidak
menyukai sebagian isi kesepakatan. Hasilnya
mungkin dapat berupa
pertentangan yang kronis terhadap perubahan atau
bahkan melakukan
pemogokan.
Keterlibatan pihak ketiga. Orang-orang cenderung akan terlibat
secara emosional dalam konflik. Keterlibatan yang
demikian dapat
menimbulkan beberapa pengaruh, antara lain:
persepsi bias menjadi
rusak, proses pemikiran dan argumentasi yang
tidak rasional muncul,
menghasilkan pendirian yang tidak beralasan,
kemunikasi rusak, dan
serangan-serangan terhadap pribadi muncul.
Pengaruh-pengaruh seperti
ini menyebabkan konflik menjadi sulit dipecahkan.
Menghadapi situasi
seperti ini peranan pihak ketiga yang netral
sangat diperlukan. Pihak
ketiga yang netral akan lebih bisa diterima oleh
pihak-pihak yang terlibat,
karena mereka lebih menyukai evaluasi pihak lain
daripada dievaluasi
pihak lawan. Semakin berwibawa, berkuasa,
dipercaya, dan netral pihak
ketiga, semakin besar kemungkinan pihak-pihak
yang terlibat konflik untuk
menahan emosi.
Peranan yang dimainkan oleh pihak ketiga dapat
berwujud
bermacam-macam bentuk, mulai dari wasit yang
mengawasi komunikasi,
sampai sebagai penghubung semua pihak, jika
komunikasi langsung sulit
dilakukan. Peranan penengah pada dasarnya adalahi
menjaga agar
semua pihak berinteraksi dalam cara yang
beralasan dan konstruktif.
Meskipun demikian, biasanya sebagian besar
manajer enggan untuk
mengundang pihak luar sebagai penengah, karena
sangat sulit bagi
21
mereka untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka
terlibat dalam
konflik yangs edang terjadi. Jika para manajer
tetap terlibat dalam
penyelesaian konflik, maka kedudukan mereka lebih
sebagai seorang
arbiter, yang memutuskan sesuatu setelah
mendengar laporan dari pihakpihak
yang terlibat. Namun dalam kebanyakan konflik,
peranan penengah
lebih disukai, karena semua pihak dibantu untuk
mencapai kesepakatan.
Sedangkan arbitrasi lebih menyerupai proses
pengadilan dimana semua
pihak membuat alasan sebaik mungkin untuk
mendukung posisi mereka.
Hal ini cenderung untuk memperkuat perbedaan, dan
bukannya
menyatukan perbedaan yang ada.
Kemajuan konflik. Sulit mengatasi konflik jika semua pihak yang
terlibat tidak siap untuk suatu rekonsiliasi.
Jika masing-masing pihak
merasa bahwa diri mereka paling dirugikan, maka
konflik sulit dipecahkan.
Karena itu, hal penting yang harus dilakukan
adalah membujuk pihakpihak
yang terlibat agar menyadari bahwa mereka
sama-sama menderita
akibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat harus
dibawa pada “posisi yang
sama”, sehingga mau secara sukarela
berpartisipasi dalam penyelesaian
konflik yang terjadi.
4.2 Lima
Gaya Penanganan Konflik (Five
Conflict-Handling Styles)
dari Kreitner dan Kinicki4
Model ini ditujukan untuk menangani konflik
disfungsional dalam
organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya
penanganan konflik
yang berbeda yang disajikan dalam bentuk tabel
2x2. Pada sumbu vertikal
menggambarkan sisi pemecahan masalah yang
berorientasi pada orang
lain (concern for others), dan
pada sumbu horizontal menggambarkan sisi
pemecahan masalah yang berorientasi pada diri
sendiri (concern for self).
Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan
lima gaya penanganan
4 Kreitner dan
Kinicki mengadopsi model ini dari M.A. Rahim, dari tulisannya “A
Strategy for Managing Conflict in Complex
Organization”. Human Relations,
January 1985, p 84. Karena itu Kreitner dan
Kinicki menyebut model ini
sebagai Afzalur Rahim’s Model (Kreitner dan
Kinicki, 1995:287).
22
masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding,
dan compromising.
High
Concern Integrating Obliging
for Others Compromising
Low Dominating Avoiding
High Low
Concern for Self
Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang
berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang
dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan
memilih solusi
alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok
untuk memecahkan isu-isu
kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi
tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang
terjadi karena sistem nilai
yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah
memerlukan waktu yang
lama dalam penyelesaian masalah.
Obliging (Smoothing). Sesuai dengan posisinya dalam gambar di
atas, seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada
upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri
sendiri. Gaya ini sering
pula disebut smothing (melicinkan),
karena berupaya mengurangi
perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan
atau
kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Kekuatan strategi ini
terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya
kerjasama. Kelemahannya,
penyelesaian bersifat sementara dan tidak
menyentuh masalah
pokok yang ingin dipecahkan.
Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan
rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang
lain, mendorong
seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang,
kamu kalah”. Gaya
ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal
dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara
23
yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah,
masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting,
dan waktu untuk
mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak
cocok untuk menangani
masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka
yang terlebat.
Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya
waktu yang diperlukan.
Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau
rasa berat hatu
untuk menerima keputusan oleh mereka yang
terlibat.
Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh,
atau jika biaya yang
harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih
besar daripada keuntungan
yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk
menyelesaikan masalahmalasah
yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi
penghindaran
adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua
(ambiguous
situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah
hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan
pokok masalah.
Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi
moderat, yang secara seimbang memadukan antara
kepentingan sendiri
dan kepentingan orang lain. Ini merupakan
pendekatan saling memberi
dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.
Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah
yang melibatkan
pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi
memiliki kekuatan yang
sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara
buruh dan majikan.
Kekuatan utama dari kompromi adalah pada
prosesnya yang demokratis
dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan.
Tetapi penyelesaian konflik
kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya
kreativitas dalam
penyelesaian masalah.
Model-model di atas sudah barang tentu hanya
merupakan
sebagain saja dari banyak model yang dapat
dipilih dalam manajemen
konflik. Model apapun yang dipilih akan
tergantung pada beberapa faktor,
antara lain: (1) latar belakang terjadinya
konflik; (2) kategori pihak-pihak
24
yang terlibat dalam konflik: apakah
antar-individu, individu dengan
kelompok, atau antar-kelompok dalam organisasi;
(3) kompleksitas
masalah yang akan dipecahkan; dan (4)
kompleksitas organisasi.
V. PENUTUP
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa kualitas
pelayanan
publik dipengaruhi oleh tingkat konflik yang ada
dalam organisasi. Faktorfaktor
yang menjadi penentu tingginya kualitas
pelayanan, misalnya: sikap
responsif dan empatik dari para aparatur
pemerintah akan sulit muncul jika
di dalam organisasi terdapat tingkat konflik yang
tinggi atau sebaliknya
konflik yang terlalu rendah.
Sering kita temukan dalam setiap organisasi
tentang adanya sikap
pro dan kontra dalam memandang konflik. Ada
pimpinan yang
memandang konflik secara negatif dan mencoba
untuk menghilangkan
segala jenis konflik yang ada. Para pimpinan ini
bersikeras bahwa konflik
akan memecah-belah organisasi dan menghambat
terciptanya kinerja
yang optimal. Konflik memberikan indikasi tentang
adanya suatu
ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya
prinsip-prinsip atau aturanaturan
yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Pandangan yang berbeda terhadap konflik
beranggapan bahwa
konflik tidak mungkin dihindari. Semua bentuk
ketidaksetujuan
mengandung konflik, namun hal itu tidak perlu
menimbulkan pertengkaran
yang hebat. Para pimpinan yang setuju dengan
pandangan ini
berpendapat bahwa jika pihak-pihak yang
berkonflik bersikap dewasa dan
percaya diri, maka apapun masalah yang menjadi
sumber konflik akan
dapat diselesaikan dengan baik. Mereka ini
percaya bahwa kinerja
organisasi yang optimal memerlukan tingkat
konflik yang optimal atau
moderat. Tanpa konflik, akan ada rasa tidak
memerlukan perubahan, dan
perhatian tidak terfokus pada masalah. Karena itu
yang dibutuhkan adalah
bagaimana mengelola konflik sehingga konflik
tersebut dapat
dipertahankan pada tingkatan tertentu (optimal
atau moderat) sehingga
25
menimbulkan situasi kondusif dalam organisasi.
Dengan demikian kualitas
pelayanan yang diinginkan dapat tercapai.
26
DAFTAR PUSTAKA
De Cenzo, David A., dan Stephen P.
Robbins, 1996. Human Resource
Management. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Gibson, James L., et
al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses.
Alih bahasa oleh Adriani. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Greenhalgh, Leonard, 1999. “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale Timpe,
(Ed.), Memimpin Manusia. Alih
bahasa oleh Sofyan Cikmat.
Jakarta: PT.Gramedia.
Kreitner, Robert, dan Angelo Kinicki, 1995. Organizational Behavior.
Chicago: Irwin.
Luthans, Fred, 1985. Organizational
Behavior. New York: McGraw-Hill
Book Company.
Milkovich, George T., dan Milkovich
Boudreau, 1977. Human Resource
Management. Chicago: Irwin.
Miner, John B., et
al., 1985. The Practice of Management. Toronto: A
Bell & Howell Company.
Robbins, Stephen P., 1996. Organizational
Behavior: Concepts,
Controversies, and Applications. USA: Prentice-Hall International
Editions.
Schermerhorn, John R., et
al., 1982. Managing Organizational Behavior.
New Yor: John Wiley &Sons, Inc.
Sikula, Andrew F., 1976. Personnel
Administration and Human
Resources Management. New York: John Wiley &Sons, Inc.
Stoner, James A.F., dan R. Edward
Freeman, 1989. Management. USA:
Prentice-Hall International Editions.
Werther, William B., dan Keith Davis, 1993. Human Resouces and
Personnel Management. New York: McGraw-Hill International
Editions.
0 komentar:
Posting Komentar