Rabu, 08 Juni 2011

MANAJEMEN KONFLIK

KONFLIK DALAM ORGANISASI DAN
KAITANNYA DENGAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Too much or too little conflict can inhibit creativity.
Poorly managed conflict can do the same.
But when conflict is well managed, problems can be resolved effectively,
and the solutions are more likely to be fresh and innovative.
(Stoner dan Freeman, 1989:391).

I. PENDAHULUAN
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen
(subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung
(interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk
mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem
yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values
subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial
subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur
(structural subsystem). Dalam proses interaksi antara suatu subsistem
dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi
kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat
ketegangan dapat saja muncul, baik antarindividu maupun antarkelompok
dalam organisasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya
ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang
berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan
nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya
membawa organisasi ke dalam suasana konflik.
Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok
yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling
1 - Dosen tetap pada Fakultas Ilmu Administrasi dan Program S2 Ilmu Administrasi
Program Pascasarjana Univ.Brawijaya Malang.
- Mahasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran Bandung.
2
mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain
dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula
melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi
memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling
bekerjasama satu sama lain.
Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi,
tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut.
Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi,
tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika
konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu
keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan
atau manajer organisasi.
Makalah ini mencoba untuk menyajikan tiga hal penting dalam
konteks konflik dalam organisasi, yaitu: faktor penyebab timbulnya konflik,
keterkaitan konflik dengan kualitas pelayanan, dan model-model
pengelolaan konflik. Keseluruhan pembahasan dilakukan secara teoretis
dengan menggunakan beberapa referensi yang tersedia. Namun, sebelum
ketiga hal tersebut diuraikan, dan untuk menyatukan sudut pandang kita,
dalam bagian ini akan disajikan definisi konflik, pandangan terhadap
konflik, dan jenis-jenis konflik.
1.1 Definisi Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen.
Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para
ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara maknamakna
yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal
nilai, tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan
perbedaan-perbedaan dimaksud.
3
… the condition of objective incompatibility between values or goals, as
the bahavior of deliberately interfering with another’s goal achievement,
and emotional in terms of hostility (Luthans, 1985:386).
A process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of
B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his
or her goals or furthering his or her interests (Robbins, 1996:428).
… disagreement between individuals or groups within the organization
stemming from the need to share scarce resources or engage in
interdependent work activities, or from differences in status, goals, or
cultures (Stoner dan Freeman, 1989:391).2
All kinds of opposition or antagonistic interaction. It based on scarcity of
power, resources or social position, and differing value systems (Kreitner
dan Kinicki, 1995:283).
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik
merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan
sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain,
sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang
terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin (1996),
ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara
umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka
konflik tersebut menjadi suatu kenyataan.
1.2 Pandangan Terhadap Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam
kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus
dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan
organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika
konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa
2 Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik organisasional
(organizational conflict).
4
keuntungan bagi kelompok dan organisasi. Pertentangan pendapat ini
oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the Conflict Paradox, yaitu
pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan
kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi
berusaha untuk meminimalisir konflik.
Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang
konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429).3
Pandangan Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini
menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai
sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat
konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence,
destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap
yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an
dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat
komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di
antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan.
Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar
terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu
yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima
dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi
peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik
dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.
Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan
ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi
bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung
menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu,
menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat
3 Pembahasan tentang hal ini dapat pula dibaca dalam James A.F. Stoner dan
R. Edward Freeman, Management. Prentice-Hall, New York, 1989, p.392.
5
minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat
(viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang
konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan
pandangan modern (current view). Perbedaan kedua pandangan tersebut
disajikan dalam Tabel 1.1. Dalam tabel tersebut, kedua cara pandang:
tradisional dan modern, dibedakan dalam lima aspek, yaitu: cara pandang
terhadap konflik, faktor penyebab timbulnya konflik, pengaruh konflik
terhadap kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana perlakuan terhadap
konflik untuk mencapai kinerja optimal.
Tabel 1: Pandangan Tradisional dan Modern tentang Konflik
PANDANGAN TRADISIONAL PANDANGAN MODERN
Konflik dapat dihindari Konflik tidak dapat dihindari
Konflik disebabkan oleh kesalahan
manajemen dalam merancang dan
memimpin organisasi
Konflik disebabkan oleh banyak faktor:
struktur organisasi, perbedaan tujuan,
persepsi, nilai-nilai, dsb.
Konflik mengacaukan organisasi dan
mencegah pencapaian tujuan yang
optimal
Konflik mengurangi kinerja organisasi
dalam pelbagai tingkatan
Manajemen bertugas mengeliminir
konflik
Manajemen bertugas mengelola dan
mengatasi konflik, sehingga tercapai
kinerja yang optimal
Untuk mencapai kinerja yang optimal
maka konflik harus dihilangkan
Untuk mencapai kinerja yang optimal
membutuhkan tingkat konflik yang
moderat
1.3 Jenis-jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar
yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik
atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik, dan sebagainya.
6
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik
menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan
konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah
konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki
kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang
merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik
mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi
kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu
tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang
membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah
dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja
individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok,
walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut
dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka
konflik tersebut disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan
Freeman (1989:393) mebagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini
terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan,
atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang
satu dengan individu yang lain.
7
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and
groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan normanorma
kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among
groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masingmasing
kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing
berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini
terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan
dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan
sumberdaya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among
individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat
sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak
negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer
public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang
dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang
dalam Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat
dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya,
antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang
setingkat.
8
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang
biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang
biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban
lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain,
misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang
membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive
conflict, dan destructive conflict.
II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori,
yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat
menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan
dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi
dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian
yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan
kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan
antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan,
sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian
menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan
9
makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah
faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial.
Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan
para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi
bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan
konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu
terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi,
atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik
yang dirasakan (felt conflict).
Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya
itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang
terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara
verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara,
pemogokan, dan sebagainya.
Robbins (1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya konflik,
sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana
yang disajikan di bawah ini.
Gambar 1: Proses Lahirnya Konflik
Stage I Stage II Stage III Stage IV
Potential Opposition Cognition and Behavior Outcomes
Personalization
Increased
Perceived group
10
Conflict performance
Antecedent Conditions
- Communication Overt
- Structure conflict
- Personal variables
Felt Decreased
conflict group
performance
Conflict-handling
Behaviors
- Competition
- Collaboration
- Compromise
- Avoidance
- Accommodation
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh
Robbins, mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh
Schermerhorn, et al. (1982:461), seperti yang disajikan di bawah ini.
Gambar 2: Tahap-tahap Konflik
Antecedent conditions
Preceived Felt
conflict conflict
Manifest
conflict
11
Conflict resolution
or suppression
Conflict
aftermath
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor dalam
antecedent conditions, Schermerhorn, et al. merinci antecedent conditions
menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan peranan atau peranan yang
mendua (role ambiguities); (2) persaingan untuk mendapatkan sumberdaya
yang terbatas; (3) rintangan-rintangan dalam komunikasi
(communication barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan;
dan (5) perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan
kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi
antecedent conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut:
1) ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
2) batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
3) persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
4) pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate
communication);
5) kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak
dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain);
6) kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan
dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi
pekerjaan);
7) peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau
tidak masuk akal;
8) batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga
sulit dipenuhi (unreasonable deadlines);
12
9) pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang
terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk
konflik);
10) pengambilan keputusan melalui konsensus;
11) harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki
harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi,
akan lebih mudah untuk konflik);
12) tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau pimpinan
organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisikondisi
tersebut dalam organisasinya, dan jika salah satu atau lebih dari
kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan, sebelum
kondisi itu menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest
conflict). Dengan cara seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke
seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk
itulah maka manajer harus memiliki kemampuan untuk mengelola konflik,
sehingga konflik tidak menjadi faktor yang mengancam keberlangsungan
hidup organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk
meningkatkan kinerja organisasi.
IV. KONFLIK DAN KAITANNYA DENGAN
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Manajemen pelayanan publik dalam organisasi publik (pemerintah)
umumnya memberikan layanan berupa jasa yang memiliki karakteristik:
tidak nyata (intangible), tidak terpisahkan (inseparable), tidak dapat
disimpan (perishable), dan bervariasi (variable). Ciri-ciri seperti ini sering
menyulitkan manajemen (umumnya para birokrat) untuk menentukan
indikator kualitas pelayanan yang diberikan. Artinya, apakah pelayanan
kepada publik yang diberikan selama ini telah memuaskan mereka atau
tidak. Hal ini berbeda dengan pelayanan pada organisasi bisnis yang
13
mentransaksikan barang yang secara fisik nampak, dan konsumen dapat
secara langsung menyatakan kesukaan atau ketidaksukaannya. Karena
itu dalam organisasi publik, kualitas layanan amat ditentukan oleh interaksi
antara pemberi layanan (aparatur pemerintah) dan pengguna layanan
(masyarakat). Aparatur memiliki tingkatan kinerja tertentu dalam
memberikan layanan, sedangkan masyarakat memiliki ekspektasi tentang
kualitas layanan yang diinginkan. Kualitas layanan, dengan demikian,
didefinisikan sebagai hasil persepsi dari perbandingan antara harapan
pelanggan (penerima layanan) dengan kinerja aktual pemberi layanan.
Dari pengertian ini terdapat dua unsur utama dalam kualitas layanan, yaitu
expected service (layanan yang diinginkan) dan perceived service
(layanan yang dirasakan). Apabila layanan yang diterima atau dirasakan
sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas layanan yang
dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika layanan yang diterima
melampaui harapan pelanggan maka kualitas layanan dipersepsikan
sebagai kualitas ideal. Sebaliknya, jika kualitas layanan yang diterima
lebih rendah, maka akan dipersepsikan buruk atau tidak memuaskan
(Gronroos, et al., 1997).
Setiap pimpinan suatu institusi publik menghendaki agar tercapai
suatu pelayanan jasa yang unggul (service excellence), yaitu sikap atau
cara karyawan dalam melayani masyarakat pelanggan secara
memuaskan. Menurut Kotler (1997), terdapat lima faktor determinan yang
menentukan kualitas layanan yang diberikan, yaitu:
a) kehandalan, kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan tepat
pada waktunya;
b) responsif, kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa
dengan cepat;
c) keyakinan, kemampuan untuk menimbulkan kepercayaan pada diri
pelanggan melalui perilaku ramah dan sopan;
d) empati, kepedulian atau kemampuan untuk memberikan perhatian
pribadi pada pelanggan;
14
e) berwujud, mengacu pada fasilitas fisik, yaitu kemampuan dalam
menyedian peralatan, personil, dan media komunikasi yang dibutuhkan
pelanggan.
Dalam menganalisis keterkaitan antara konflik dalam organisasi
dan kualitas pelayanan publik kita menganggap bahwa service excellence
atau kualitas pelayanan publik yang unggul merupakan suatu tingkatan
kinerja yang “tinggi” yang diharapkan dicapai dalam interaksi antara
aparatur dengan publik. Hal ini dapat dicapai jika sejumlah faktor
determinan yang telah disebut di atas dapat dipenuhi dalam proses
interaksi itu.
Untuk keperluan analisis, maka dalam model yang membahas
keterkaitan antara konflik dan kinerja (performance) suatu unit kerja atau
suatu instansi, penulis akan mensubtitusikan kinerja dengan kualitas
layanan. Model yang akan dibahas bersumber dari Robbins (1996). Ia
menggambarkan hubungan antara konflik dengan kinerja dalam suatu
kurva normal yang memperlihatkan adanya tiga situasi yang disimbulkan
dengan A, B, dan C. Sumbu vertikal dari kurva adalah kinerja, dan sumbu
horizontalnya adalah tingkat konflik. Situasi A menunjukkan tingkat konflik
yang rendah atau tidak ada konflik, situasi B menggambarkan konflik
berada pada kondisi optimal, dan situasi C memperlihatkan tingkatan
konflik yang tinggi. Ketiga situasi ini dapat dilihat dalam gambar di bawah
ini.
Gambar 3: Keterkaitan Konflik dengan Kinerja (Kualitas Pelayanan)
tinggi
kinerja
rendah
15
Tingkat Konflik tinggi
Situasi Tingkat
Konflik
Tipe
Konflik
Karakteristik
Internal
Organisasi
Kualitas
Layanan
A
Rendah/ Tidak
ada konflik
Disfungsional
- Apatis
- Stagnan
- Tdk responsif
thd. perubahan
- Kekurangan ideide
baru
Rendah
B
Optimal
Fungsional
- Hidup (Viable)
- Kritis-diri
(Self-critical)
- Inovatif
Tinggi
C
Tinggi
Disfungsional
- Mengganggu
(Disruptive)
- Kacau balau
(Chaotic)
- Tdk koperatif
Rendah
Jika dalam organisasi tingkat konfliknya rendah atau tidak ada
konflik sama sekali (situasi A) maka tipe konfliknya adalah disfungsional,
dan hal ini ditandai oleh karakteristik organisasi tersebut yang apatis,
macet (stagnant), tidak responsif terhadap perubahan, dan kekurangan
ide-ide baru. Situasi ini mengakibatkan kualitas pelayanan publik menjadi
rendah. Hal ini sama akibatnya dengan jika terjadi konflik yang tinggi
dalam organisasi, seperti pada situasi C.
Keadaan yang diharapkan adalah sebagaimana dalam situasi B,
dimana tercapai suatu konflik optimal yang fungsional, yang ditandai oleh
ciri-ciri organisasional yang viable, self-critical, dan innovative. Situasi ini
menjadikan organisasi mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi.
Dengan demikian kunci dari model Robbins adalah bagaimana
mengusahakan agar konflik berada pada situasi optimal, sehingga konflik
tersebut dapat mencegah kemacetan, merangsang kreativitas,
memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih
untuk perubahan. Selanjutnya Robbins menjelaskan bahwa konflik itu baik
bagi organisasi jika: (1) konflik merupakan suatu alat untuk menimbulkan
16
perubahan; (2) konflik mempermudah terjadinya keterpaduan
(cohesiveness) kelompok; (3) konflik dapat memperbaiki keefektifan
kelompok dan organisasi; dan (4) konflik menimbulkan tingkat ketegangan
yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstruktif.
Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu
berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi keefektifan organisasi untuk
mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi. Kedua situasi ektrim ini
dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang apatis, absenteisme tinggi,
bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna jasa, dan
sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayanan
mereka kepada publik. Untuk itulah diperlukan suatu keahlian untuk
mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi publik. Penggunaan
berbagai teknik pemecahan dan motivasi untuk mencapai tingkat konflik
yang diinginkan disebut sebagai manajemen konflik.
IV. MENGELOLA KONFLIK DALAM ORGANISASI
Para manajer menghabiskan banyak waktu dan energi untuk
menangani konflik. Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan,
karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung
mendatangkan konflik. Sebagaimana saat ini, dalam rangka otonomi
daerah, banyak sekali perubahan institusional yang terjadi, yang tidak saja
berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga
berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang
berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani
secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan
sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang
terlibat. Menurut Gibson, et al. (1997), kegagalan dalam menangani konflik
dapat mengarah pada akibat yang mencelakakan. Konflik dapat
menghancurkan organisasi melalui penciptaan dinding pemisah di antara
17
rekan sekerja, menghasilkan kinerja yang buruk, dan bahkan
pengunduran diri.
Para manajer organisasi publik harus menyadari bahwa karena
konflik disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan, maka model yang
digunakan dalam pengelolaan konflik juga berlainan, tergantung keadaan.
Memilih sebuah model pemecahan konflik yang cocok tergantung pada
beberapa faktor, termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan hubungan
khusus antara pimpinan dengan pihak yang terlibat konflik. Menurut
Greenhalgh (1999), efektivitas pimpinan organisasi dalam menangani
konflik tergantung pada seberapa baik mereka memahami dinamika dasar
dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali hal-hal penting yang
terdapat dalam konflik tersebut.
Bagian keempat tulisan ini disajikan beberapa model teoretis dalam
mengelola konflik yang dikemukakan oleh para ahli manajemen dan
perilaku organisasi.
4.1 Model Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum
dari Leonard Greenhalgh
Menurut Greenhalgh (1999:391), konflik bukanlah suatu fenomena
yang obyektif dan nyata, tetapi ia ada dalam benak orang-orang yang
terlibat dalam konflik tersebut. Karena itu untuk menangani konflik,
seseorang perlu bersikap empati, yaitu memahami keadaan sebagaimana
yang dilihat oleh para pelaku penting yang terlibat konflik. Unsur yang
penting dalam manajemen konflik adalah persuasi, dan inilah bentuk
penyelesaian konflik yang selalu ditekankan oleh Greenhalgh dalam
model kontinumnya.
Tabel 2: Model Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum
Dimensi Sulit Dipecahkan Mudah Dipecahkan
Masalah yang menjadi
pertanyaan
Masalah prinsip Masalah yang dapat
dibagi-bagi
Ukuran taruhan Besar Kecil
18
Saling ketergantungan
antara pihak-pihak yang
terlibat
Berjumlah nol Berjumlah positif
Kontinuitas interaksi Transaksi tunggal Hubungan jangka
panjang
Struktur pihak-pihak
yang terlibat
Tak berbentuk atau
terpecah-pecah, dengan
kepemimpinan yg lemah
Terpadu, dengan
kepemimpinan yg kuat
Keterlibatan pihak
ketiga
Tidak ada pihak ketiga
Yang netral
Dipercaya, kuat,
dihormati dan netral
Kemajuan konflik yang
Dipandang
Tidak seimbang, satu
pihak merasa lebih
dirugikan
Pihak-pihak telah saling
merugikan satu sama
lain
Masalah-masalah yang dipertanyakan. Jika masalah yang
menjadi sumber konflik adalah masalah prinsip, maka konflik sulit
dipecahkan, karena mengrobankan prinsip dipandang sebagai mengorbankan
integritas pribadi. Begitu masalah-masalah prinsip dikaitkan,
pihak-pihak yang terlibat mencoba berargumentasi bahwa sudut pandang
pihak lain salah. Jika hal sepeti ini terjadi, maka bentuk intervensi yang
dapat dilakukan adalah meminta semua pihak untuk mengakui bahwa
mereka memahami pandangan satu sama lain, walaupun masih percaya
dengan pandangannya sendiri. Cara seperti ini lebih memungkinkan
semua pihak untuk meju dalam proses negosiasi, daripada tetap pada
posisi masing-masing.
Ukuran taruhan. Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam
perdebatan, semakin sulit konflik dipecahkan. Misalnya, kebijakan akuisisi
yang oleh manajer dianggap membahayakan kedudukannya. Manajer
yang berpikir subyektif akan memandang taruhannya cukup tinggi, karena
itu akan berusaha mati-matian menentang proses akuisisi tersebut. Dalam
kasus ini pendekatan persuasif dengan cara menunda penyelesaian,
hingga semua pihak menjadi kurang emosianal, sangat baik untuk
dilakukan. Selama masa penundaan tersebut masing-masing pihak dapat
mengevaluasi kembali masalah yang dipertaruhkan dan berusaha untuk
mencoba bersikap obyektif dalam penilaian mereka.
19
Saling ketergantungan pihak-pihak yang terlibat. Pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu konflik dapat memandang diri mereka sendiri
dalam suatu rangkaian saling ketergantungan “berjumlah nol” hingga
“berjumlah positif”. Saling ketergantungan berjumlah nol adalah persepsi
bahwa jika suatu pihak memperoleh sesuatu dari proses interaksi, maka
hal tersebut berarti pengorbanan bagi pihak lain. Saling ketergantungan
bernilai positif, jika kedua belah pihak sama-sama merasakan memperoleh
keuntungan dari proses interaksi. Suatu hubungan berjumlah nol
membuat konflik sulit dipecahkan karena hubungan ini memusatkan
perhatian secara sempit pada perolehan pribadi, dan bukan pada
perolehan kedua belah pihak melalui kerjasama dan pemecahan masalah.
Jika hal yang demikian ini terjadi, maka kedua belah pihak harus dibujuk
untuk mempertimbangkan bagaimana mereka dapat saling memperoleh
manfaat dari suatu situasi.
Kontinuitas interaksi. Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan
dengan horizon waktu dimana semua pihak melihat diri mereka sendiri
berhubungan satu sama lain. Jika mereka memvisualisasikan interaksi
yang terjadi sebagai interaksi jangka panjang atau suatu hubungan yang
terus menerus, maka konflik yang terjadi akan lebih mudah diselesaikan.
Sebaliknya jika transaksi dipandang sebagai hubungan jangka pendek
atau hubungan episodic, maka konflik tersebut akan sulit dipecahkan.
Karena itu, pihak-pihak yang terlibat harus dibujuk agar mau menyadari
bahwa hubungan mereka tidak berhenti di sini saja, atau pada saat konflik
terjadi, tetapi akan ada hubungan lain yang terus menerus di masa yang
akan dating.
Struktur pihak-pihak yang terlibat. Konflik lebih mudah
dipecahkan jika suatu pihak mempunyai seorang pemimpin yang kuat
yang dapat menyatukan pengikutnya untuk menerima dan melaksanakan
kesepakatan. Jika kepemimpinannya lemah, maka sub-sub kelompok
serikat pekerja yang paling merasa berkewajiban untuk mematuhi semua
20
kesepakatan akan melakukan protes tanpa memperhatikan apa yang telah
disepakati oleh pemimpin mereka, dan karena itu konflik sulit dipecahkan.
Serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang kuat mungkin
menyulitkan dalam perundingan, tetapi begitu kesepakatan dicapai maka
hasil perundingan tersebut dihormati oleh anggota serikat pekerja. Jika
serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang lemah terlibat dalam
konflik, maka hasil yang telah disepakati mungkin akan dirusak oleh
orang-orang dari dalam serikat pekerja tersebut, yang mungkin tidak
menyukai sebagian isi kesepakatan. Hasilnya mungkin dapat berupa
pertentangan yang kronis terhadap perubahan atau bahkan melakukan
pemogokan.
Keterlibatan pihak ketiga. Orang-orang cenderung akan terlibat
secara emosional dalam konflik. Keterlibatan yang demikian dapat
menimbulkan beberapa pengaruh, antara lain: persepsi bias menjadi
rusak, proses pemikiran dan argumentasi yang tidak rasional muncul,
menghasilkan pendirian yang tidak beralasan, kemunikasi rusak, dan
serangan-serangan terhadap pribadi muncul. Pengaruh-pengaruh seperti
ini menyebabkan konflik menjadi sulit dipecahkan. Menghadapi situasi
seperti ini peranan pihak ketiga yang netral sangat diperlukan. Pihak
ketiga yang netral akan lebih bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat,
karena mereka lebih menyukai evaluasi pihak lain daripada dievaluasi
pihak lawan. Semakin berwibawa, berkuasa, dipercaya, dan netral pihak
ketiga, semakin besar kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk
menahan emosi.
Peranan yang dimainkan oleh pihak ketiga dapat berwujud
bermacam-macam bentuk, mulai dari wasit yang mengawasi komunikasi,
sampai sebagai penghubung semua pihak, jika komunikasi langsung sulit
dilakukan. Peranan penengah pada dasarnya adalahi menjaga agar
semua pihak berinteraksi dalam cara yang beralasan dan konstruktif.
Meskipun demikian, biasanya sebagian besar manajer enggan untuk
mengundang pihak luar sebagai penengah, karena sangat sulit bagi
21
mereka untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka terlibat dalam
konflik yangs edang terjadi. Jika para manajer tetap terlibat dalam
penyelesaian konflik, maka kedudukan mereka lebih sebagai seorang
arbiter, yang memutuskan sesuatu setelah mendengar laporan dari pihakpihak
yang terlibat. Namun dalam kebanyakan konflik, peranan penengah
lebih disukai, karena semua pihak dibantu untuk mencapai kesepakatan.
Sedangkan arbitrasi lebih menyerupai proses pengadilan dimana semua
pihak membuat alasan sebaik mungkin untuk mendukung posisi mereka.
Hal ini cenderung untuk memperkuat perbedaan, dan bukannya
menyatukan perbedaan yang ada.
Kemajuan konflik. Sulit mengatasi konflik jika semua pihak yang
terlibat tidak siap untuk suatu rekonsiliasi. Jika masing-masing pihak
merasa bahwa diri mereka paling dirugikan, maka konflik sulit dipecahkan.
Karena itu, hal penting yang harus dilakukan adalah membujuk pihakpihak
yang terlibat agar menyadari bahwa mereka sama-sama menderita
akibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat harus dibawa pada “posisi yang
sama”, sehingga mau secara sukarela berpartisipasi dalam penyelesaian
konflik yang terjadi.
4.2 Lima Gaya Penanganan Konflik (Five Conflict-Handling Styles)
dari Kreitner dan Kinicki4
Model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam
organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik
yang berbeda yang disajikan dalam bentuk tabel 2x2. Pada sumbu vertikal
menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang
lain (concern for others), dan pada sumbu horizontal menggambarkan sisi
pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self).
Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan
4 Kreitner dan Kinicki mengadopsi model ini dari M.A. Rahim, dari tulisannya “A
Strategy for Managing Conflict in Complex Organization”. Human Relations,
January 1985, p 84. Karena itu Kreitner dan Kinicki menyebut model ini
sebagai Afzalur Rahim’s Model (Kreitner dan Kinicki, 1995:287).
22
masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding,
dan compromising.
High
Concern Integrating Obliging
for Others Compromising
Low Dominating Avoiding
High Low
Concern for Self
Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang
berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang
dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi
alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu
kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi
tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai
yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang
lama dalam penyelesaian masalah.
Obliging (Smoothing). Sesuai dengan posisinya dalam gambar di
atas, seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada
upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering
pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi
perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau
kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini
terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya,
penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah
pokok yang ingin dipecahkan.
Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan
rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong
seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya
ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal
dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara
23
yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah,
masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk
mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani
masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlebat.
Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan.
Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hatu
untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang
harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan
yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalahmalasah
yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran
adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua
(ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah
hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi
moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri
dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi
dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.
Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan
pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang
sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan.
Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis
dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik
kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah.
Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan
sebagain saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen
konflik. Model apapun yang dipilih akan tergantung pada beberapa faktor,
antara lain: (1) latar belakang terjadinya konflik; (2) kategori pihak-pihak
24
yang terlibat dalam konflik: apakah antar-individu, individu dengan
kelompok, atau antar-kelompok dalam organisasi; (3) kompleksitas
masalah yang akan dipecahkan; dan (4) kompleksitas organisasi.
V. PENUTUP
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa kualitas pelayanan
publik dipengaruhi oleh tingkat konflik yang ada dalam organisasi. Faktorfaktor
yang menjadi penentu tingginya kualitas pelayanan, misalnya: sikap
responsif dan empatik dari para aparatur pemerintah akan sulit muncul jika
di dalam organisasi terdapat tingkat konflik yang tinggi atau sebaliknya
konflik yang terlalu rendah.
Sering kita temukan dalam setiap organisasi tentang adanya sikap
pro dan kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang
memandang konflik secara negatif dan mencoba untuk menghilangkan
segala jenis konflik yang ada. Para pimpinan ini bersikeras bahwa konflik
akan memecah-belah organisasi dan menghambat terciptanya kinerja
yang optimal. Konflik memberikan indikasi tentang adanya suatu
ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya prinsip-prinsip atau aturanaturan
yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Pandangan yang berbeda terhadap konflik beranggapan bahwa
konflik tidak mungkin dihindari. Semua bentuk ketidaksetujuan
mengandung konflik, namun hal itu tidak perlu menimbulkan pertengkaran
yang hebat. Para pimpinan yang setuju dengan pandangan ini
berpendapat bahwa jika pihak-pihak yang berkonflik bersikap dewasa dan
percaya diri, maka apapun masalah yang menjadi sumber konflik akan
dapat diselesaikan dengan baik. Mereka ini percaya bahwa kinerja
organisasi yang optimal memerlukan tingkat konflik yang optimal atau
moderat. Tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan perubahan, dan
perhatian tidak terfokus pada masalah. Karena itu yang dibutuhkan adalah
bagaimana mengelola konflik sehingga konflik tersebut dapat
dipertahankan pada tingkatan tertentu (optimal atau moderat) sehingga
25
menimbulkan situasi kondusif dalam organisasi. Dengan demikian kualitas
pelayanan yang diinginkan dapat tercapai.
26
DAFTAR PUSTAKA
De Cenzo, David A., dan Stephen P. Robbins, 1996. Human Resource
Management. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Gibson, James L., et al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses.
Alih bahasa oleh Adriani. Jakarta: Binarupa Aksara.
Greenhalgh, Leonard, 1999. “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale Timpe,
(Ed.), Memimpin Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat.
Jakarta: PT.Gramedia.
Kreitner, Robert, dan Angelo Kinicki, 1995. Organizational Behavior.
Chicago: Irwin.
Luthans, Fred, 1985. Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill
Book Company.
Milkovich, George T., dan Milkovich Boudreau, 1977. Human Resource
Management. Chicago: Irwin.
Miner, John B., et al., 1985. The Practice of Management. Toronto: A
Bell & Howell Company.
Robbins, Stephen P., 1996. Organizational Behavior: Concepts,
Controversies, and Applications. USA: Prentice-Hall International
Editions.
Schermerhorn, John R., et al., 1982. Managing Organizational Behavior.
New Yor: John Wiley &Sons, Inc.
Sikula, Andrew F., 1976. Personnel Administration and Human
Resources Management. New York: John Wiley &Sons, Inc.
Stoner, James A.F., dan R. Edward Freeman, 1989. Management. USA:
Prentice-Hall International Editions.
Werther, William B., dan Keith Davis, 1993. Human Resouces and
Personnel Management. New York: McGraw-Hill International
Editions.

0 komentar:

Posting Komentar