FILSAFAT
SAINS kontemporer membawa agama dan sains ke dalam arena yang sama dalam
pencarian makna. Meski agama dan sains menerangi realitas yang sama,
perspektifnya tetap saja berbeda.
“Tujuan agama sejati seharusnya adalah memaknai
asas-asas dunia indrawi jauh ke dalam jiwa.”
GW Leibniz
Di samping
agama dan filsafat, sains merupakan salah satu bentuk pengetahuan manusia yang
gigih mencari makna. Mungkin sains tidak menuntaskan banyak misteri kehidupan
manusia, seperti misteri asal-usul kehidupan dan misteri kematian, namun
langkah-langkah untuk memecahkan enigma-enigma seperti itu tampaknya berjalan
progresif dalam sains. Kesan bahwa sains ingin menyaingi agama atau bahkan
menggantikannya dalam perannya sebagai juru tafsir dunia cukuplah beralasan.
Sains berambisi menjadi sistem pandangan dunia menyeluruh dan itulah yang
terjadi dalam scientism.
Di dalam
saintisme kesahihan agama dalam memaknai dunia ditolak. Di tengah-tengah
dominasi saintistis itu di abad ke-20 terjadi suatu tren yang sebaliknya:
kesahihan sains dalam memaknai dunia juga dipersoalkan.
Secara garis
besar, ada tiga posisi untuk memahami hubungan antara sains dan agama dalam
pencarian makna. Dengan makna di sini dimaksudkan terutama ‘kebenaran’.
Pertama, sains dan agama memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian
makna. Kedua, agama dan sains dapat dibawa ke dalam arena yang sama dalam
pencarian makna. Dan ketiga, agama dan sains menerangi realitas yang sama,
namun dengan perspektif yang berbeda. Dalam tulisan ini saya ingin menunjukkan
bagaimana filsafat sains kontemporer bergerak ke posisi kedua dalam pencarian
makna. Lalu saya ingin menunjukkan daya tarik posisi ketiga.
“New philosophy of science”
Awal perkembangan baru dalam filsafat sains di abad ke-20 itu adalah ketidakpuasan terhadap pandangan-pandangan neopositivisme yang disebarkan oleh Lingkungan Wina (Wiener Kreis). Kelompok ilmuwan dan filsuf ini merupakan salah satu pendukung positivisme yang paling gigih di abad ke-20. Salah satu tesis sentral mereka mempersoalkan demarkasi antara pernyataan-pernyataan yang bermakna dan yang tak bermakna. Hanya pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh sains, yaitu mengenai data-data yang dapat diobservasi, dapat dimasukkan ke dalam wilayah hal-hal yang bermakna. Sementara itu, semua pernyataan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris-mereka menyebutnya “asas verifikasi”-yaitu pernyataan-pernyataan yang tidak mengenai data indrawi, dimasukkan ke dalam wilayah non-sense. Termasuk ke dalamnya adalah estetika (“lukisan itu indah”), moral (“perbuatan itu tak adil”), dan metafisika (“Allah mahakuasa”). Dengan tesis ini, Lingkungan Wina menyingkirkan pencarian makna dalam agama sebagai non-sense.
“New philosophy of science”
Awal perkembangan baru dalam filsafat sains di abad ke-20 itu adalah ketidakpuasan terhadap pandangan-pandangan neopositivisme yang disebarkan oleh Lingkungan Wina (Wiener Kreis). Kelompok ilmuwan dan filsuf ini merupakan salah satu pendukung positivisme yang paling gigih di abad ke-20. Salah satu tesis sentral mereka mempersoalkan demarkasi antara pernyataan-pernyataan yang bermakna dan yang tak bermakna. Hanya pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh sains, yaitu mengenai data-data yang dapat diobservasi, dapat dimasukkan ke dalam wilayah hal-hal yang bermakna. Sementara itu, semua pernyataan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris-mereka menyebutnya “asas verifikasi”-yaitu pernyataan-pernyataan yang tidak mengenai data indrawi, dimasukkan ke dalam wilayah non-sense. Termasuk ke dalamnya adalah estetika (“lukisan itu indah”), moral (“perbuatan itu tak adil”), dan metafisika (“Allah mahakuasa”). Dengan tesis ini, Lingkungan Wina menyingkirkan pencarian makna dalam agama sebagai non-sense.
Karl R
Popper dalam Logik der Forschung masuk dalam diskusi ini untuk menyelamatkan
posisi pertama dari ketiga posisi terumus di atas: agama dan sains beroperasi
dalam wilayah berbeda dalam pencarian makna. Menurut Popper, demarkasi yang
ditarik oleh Lingkungan Wina itu tidak sahih. Ia pun membuat demarkasi baru
dengan kriteria “asas falsifikasi”. Demarkasi itu adalah antara teritorium
ilmiah dan non-ilmiah. Semua pernyataan yang dapat difalsifikasi, yaitu
dibuktikan salah, adalah ilmiah, sementara yang tak dapat difalsifikasi adalah
non-ilmiah. Di sini Popper “menyelamatkan” agama sebagai pengetahuan yang sahih
dalam pencarian makna karena menurutnya pernyataan-pernyataan yang tak bisa
difalsifikasi (seperti “Allah itu mahakuasa”) memang tidak ilmiah dan bukan
termasuk dalam teritorium sains, tetapi bisa saja pernyataan itu bermakna.
Aksi
penyelamatan Popper ini menurut hemat saya tidak menyelesaikan konflik tua
antara sains dan agama. Bahkan, bisa jadi keduanya bertempur lebih sengit
karena kompetisi sains dan non-sains dalam demarkasi itu. Namun, Popper
memberikan kontribusi penting untuk menyingkirkan positivisme dan memberi
tempat pada agama dalam pencarian makna. Popper bahkan menegaskan bahwa tidak ada
observasi yang bebas-teori. Artinya, data empiris itu sendiri merupakan hasil
konstruksi makna dari subjek pengetahuan. Juga dalam sains, alam tidak pernah
independen dari pemaknaan-pemaknaan manusia atasnya.
Filsafat
sains baru tidak berhenti pada posisi pertama. Ada tendensi kuat membawa
persoalan pencarian makna itu pada posisi kedua, yaitu agama dan sains dibawa
ke dalam satu arena. Dalam analisisnya atas sejarah perkembangan sains, Thomas
Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions menunjukkan bahwa
perkembangan sains tidak berlangsung linier, homogen, dan rasional (dalam arti
akumulatif dan progresif) seperti yang dikira orang sampai saat ini. Sains
berkembang melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma lama dan
menggantinya dengan yang baru. Apa yang dipandang benar dalam paradigma lama
akan mengalami krisis sampai ditegakkan suatu paradigma baru dengan
kebenaran-kebenaran baru di dalamnya. Yang sentral di sini adalah pandangan
bahwa perubahan paradigma dalam sejarah sains tidak termasuk wilayah logis
hukum-hukum alam, melainkan terjadi seperti proses “metanoia” (pertobatan)
dalam agama. Ini membuat teori-teori dalam paradigma yang satu tak dapat
dibandingkan dengan teori-teori dalam paradigma yang lain.
Lebih
radikal daripada Popper, Kuhn berhasil menunjukkan bahwa sains tidak memiliki
“mata Allah” untuk keluar dari konteks spasial-temporal dan mengeluarkan
klaim-klaim makna absolut. Seperti politik dan praktik-praktik manusiawi
lainnya, sains juga kontingen terhadap sejarah dan komunitas ilmuwan sehingga
kebenaran makna ilmiah pun berubah-ubah secara revolusioner seperti dalam
politik. Jika demikian, penemuan Kuhn ini dapat membawa kita pada konsekuensi
yang radikal: pencarian makna dalam sains (kebenaran ilmiah) tidak memiliki
prioritas atas pencarian makna dalam agama. Bahkan, pandangan Kuhn tentang
sejarah sains ini ikut menggugat setiap pandangan yang yakin akan adanya
kebenaran absolut yang bersifat suprahistoris, seperti misalnya dalam agama.
Popper dan
Kuhn hanya membuka gerbang menuju wilayah yang serba tak pasti di dalam
pencarian makna lewat sains. Dalam Against Method, Paul Feyerabend semakin
mendekati posisi kedua di atas. Menurut Feyerabend, sains dekat sekali dengan
mitos. Metode ilmiah sarat dengan asumsi- asumsi kosmologis. Sains itu sendiri
menjadi begitu otoritatif dalam modernitas bukan karena rasionalitas
argumennya, melainkan karena propaganda (represif) lewat industri, teknologi,
dan institusi-institusi ilmiah. Inti persoalan Feyerabend sesungguhnya adalah
bahwa metode ilmiah menurutnya tidak boleh memonopoli kebenaran dalam
kehidupan. Ia tidak lebih benar daripada perdukunan, astrologi, voodoo, dan
seterusnya karena hal-hal yang disebut terakhir ini juga bentuk-bentuk
pengetahuan yang bermakna dalam kehidupan. Di sini Feyerabend membawa agama dan
sains ke dalam satu arena dalam pencarian makna. Kata objektivitas dalam sains,
misalnya, tidak lebih otoritatif daripada kata kebenaran iman dalam
agama. Keduanya memiliki hak yang setara dalam menafsirkan dunia di dalam
masyarakat yang bebas.
Epistemologi
“behavioral”
Kegigihan filsafat sains baru untuk menggoyang saintisme menjadi radikal dalam kritik Richard Rorty terhadap epistemologi itu sendiri. Pendiriannya yang disebut “behavioral epistemology” meletakkan persoalan kebenaran dalam kerangka “linguistic turn” di abad ke-20, yaitu sebagai persoalan bahasa. Seperti dibuktikan oleh Richard Rorty dalam bukunya, Philosophy and the Mirror of Nature, sains modern bertumpu pada asumsi epistemologis Cartesian bahwa rasio manusia mampu mencerminkan realitas, dan bahasa logis dalam sains dianggap sebagai representasi atas realitas itu.
Kegigihan filsafat sains baru untuk menggoyang saintisme menjadi radikal dalam kritik Richard Rorty terhadap epistemologi itu sendiri. Pendiriannya yang disebut “behavioral epistemology” meletakkan persoalan kebenaran dalam kerangka “linguistic turn” di abad ke-20, yaitu sebagai persoalan bahasa. Seperti dibuktikan oleh Richard Rorty dalam bukunya, Philosophy and the Mirror of Nature, sains modern bertumpu pada asumsi epistemologis Cartesian bahwa rasio manusia mampu mencerminkan realitas, dan bahasa logis dalam sains dianggap sebagai representasi atas realitas itu.
Rorty
menolak asumsi itu. Menurut Rorty, pengetahuan dan bahasa ilmiah bukanlah
cerminan alam, melainkan “a justified true belief” yang ditetapkan lewat
conversation. Dengan kalimat lain, sains hanyalah salah satu aktivitas manusia
untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan bertindak untuk menghadapi lingkungannya.
Istilah atom, misalnya, bukan cermin realitas; istilah ini dianggap “benar”
karena pada praktiknya berguna (berfungsi) untuk menghadapi realitas. Istilah
itu sendiri tidak isomorfis dengan realitas. Jadi, sains bukanlah metabahasa
yang mengatasi praktik-praktik lain, melainkan hanyalah salah satu
language-game dalam praktik conversation dalam masyarakat. Language-games
lainnya adalah agama, politik, kebudayaan, dan seterusnya. Pencarian makna
dalam sains bukanlah pencarian kebenaran metahistoris, melainkan “pergantian
language-game” atau “sejarah metafor” yang tidak pernah berkesinambungan,
melainkan merupakan patahan-patahan paradigmatik.
‘Makna’
dalam sains dan agama
Meskipun filsafat sains baru dan epistemologi behavioral memberi tilikan-tilikan yang makin menerima peran manusia dalam konstruksi “kebenaran”, tak seluruh asumsinya dapat kita terima. Membawa sains dan agama ke dalam satu arena pencarian makna dengan menganggap keduanya sebagai language- games dalam masyarakat bebas tidaklah menyelesaikan pertarungan antara agama dan sains yang dikobarkan sejak Pencerahan.
Meskipun filsafat sains baru dan epistemologi behavioral memberi tilikan-tilikan yang makin menerima peran manusia dalam konstruksi “kebenaran”, tak seluruh asumsinya dapat kita terima. Membawa sains dan agama ke dalam satu arena pencarian makna dengan menganggap keduanya sebagai language- games dalam masyarakat bebas tidaklah menyelesaikan pertarungan antara agama dan sains yang dikobarkan sejak Pencerahan.
Alih-alih
posisi kedua, saya ingin menunjukkan daya tarik posisi ketiga, yaitu bahwa
sains dan agama adalah dua perspektif berbeda yang ingin menjelaskan dunia dan
kehidupan. Perspektif ilmiah melihat alam sebagai dunia objektif atau
fakta-fakta yang tunduk pada hukum-hukum kausal dan mekanistis. Lewat
perspektif ini kita membuat prognosis dan manipulasi teknis atas alam. Di dalam
sains makna bersangkutan dengan kebenaran faktual tentang proses-proses dalam
dunia objektif itu. Namun, kita tidak hanya menghadapi alam sebagai
fakta-fakta, melainkan juga bermukim di dalamnya sebagai suatu dunia yang
dihayati. Perspektif religius melihat alam dalam kaitannya dengan kenyataan
transendental dan penghayatan eksistensial kita. Berbeda dari kebenaran faktual,
makna dalam agama bersangkutan dengan kebenaran eksistensial dan transendental
tentang tujuan kehidupan kita di dunia ini. Karena itu, alih-alih pengambilan
jarak, perspektif religius memusatkan diri pada perjumpaan.
Bencana
tsunami di Aceh, misalnya, dari perspektif ilmiah merupakan peristiwa dalam
dunia objektif yang dapat dikalkulasi secara geologis. Namun, perspektif
religius memaknai tsunami ini secara eksistensial dan transendental sebagai
perjumpaan dengan hal-hal yang melampaui rasionalitas. Seperti dikatakan
Clifford Geertz, sekurangnya ada tiga soal di mana manusia menghadapi
batas-batas pemaknaan rasionalnya atas alam: pertama, pada batas-batas
kemampuan analitisnya; kedua, pada batas-batas kekuatannya untuk menanggung
penderitaan; dan ketiga, pada batas-batas tilikan moralnya. Makna eksistensial
transendental agama bermain dalam ruang-ruang perbatasan ini. Sementara itu,
fokus perspektif ilmiah adalah manipulabilitas dunia objektif, perspektif
religius berfokus pada interseksi eksistensial antara dunia objektif,
subjektif, dan intersubjektif sebagai suatu pergumulan dengan realitas-realitas
akhir.
Jika posisi
ketiga ini diambil, kita tidak perlu mempertarungkan sains dan agama dalam
masalah-masalah, seperti teori evolusi, intelegensia artifisial, realitas
kuantum, teori genom, dan seterusnya. Semua penjelasan ilmiah ini tentu ikut
mengguncang (atau bahkan meningkatkan) keyakinan iman bahwa manusia adalah
makhluk spesial di jagat raya ini. Namun, distingsi kita tentang kedua
perspektif di atas memperlihatkan bahwa sains tidak mempersoalkan kebenaran
eksistensial dan transendental, seperti juga agama (dalam Kitab Suci dan
teologinya) tidak berpretensi untuk menjadi sains yang memberi penjelasan
tentang kebenaran faktual.
Interpretasi fundamentalistis yang menolak teori
evolusi atas nama kreasionisme, misalnya, justru menampakkan diri sebagai
pseudo-sains yang sekadar mencocok-cocokkan ayat-ayat Kitab Suci dengan data
empiris. Pseudo-sains seperti itu akan merugikan agama sendiri karena agama
lalu menutup diri terhadap sains dan menjadi terisolasi dari perkembangan
intelektual umat manusia. Sebaliknya, upaya untuk berteologi dengan
mengadaptasi teori-teori sains juga akan kontra-produktif karena teologi yang
hari ini menginduk pada kebenaran sains yang sementara besok menjadi yatim
piatu. Posisi ketiga tampak lebih produktif: agama dan sains memiliki otonomi
mereka masing-masing dalam pencarian makna; yang satu tidak boleh direduksi
kepada yang lain. Hanya dengan jalan itu sains dan agama tidak saling bercampur,
tapi juga tidak saling mengisolasi, melainkan justru berkembang pada ranah dan
perspektifnya masing-masing dalam pencarian makna.
0 komentar:
Posting Komentar